Jumat, 28 Mei 2010

Penghuni Langit Menyambut Kedatanganmu



Teruntuk kalian jiwa yang suci, yang saat ini sedang mengemban amanah dalam dunia buatanNya, yang sedang belajar untuk memaknai arti dari nafas, setiap detak jantung, dan getaran dalam urat nadi. Yang sedang meniti pijakan cita-cita, berusaha mengumpulkan modal untuk kelak bisa diperlihatkan kepada pencipta bintang dalam langit maha luas. Bahwasanya setiap memulai pastinya akan mengakhiri, begitu pula perjumpaan pastilah berujung dengan perpisahan,,jujur aku tak menyukai kata terakhir itu.

Hari ini kamis 20 Mei 2010 masih di kamarku yang penuh dengan serakan kertas folio, saksi perjuanganku dalam menyelesaikan profesi yang harus ku tempuh 1,5 tahun terakhir ini. Folio, pulpen dan bertumpuk-tumpuk materi adalah teman akrab kami. Walaupun banyak yang mengangapnya sebagai musuh pula. Teman-temanku jadi kreatif menuliskan status dalam wall facebooknya gara-gara mereka, folio dan pulpen, tak lupa materi,,upss,,file juga J

Dinas malam alias jaga malam or dapat shift malam dapat juga dikatakan merelakan kasur empuk dikos untuk melayani pasien di ruangan, mulia memang, namun tak tahu mengapa jenis shift ini paling dibenci oleh sebagian kaum kami,,(kaum profesi ners maksudnyaa.. : D).

Aku merasa ada yang aneh denganku 2 hari terakhir ini, semangat yang dipaksakan, tugas menumpuk, dan harus menyaksikan sebuah akhir drama kehidupan beberapa pasienku. Memang hanya 4 atau 5 hari kita bersama dengan seorang pasien, namun ketika dia harus meninggalkan dunia ini, tetap saja rasa kehilangan itu ada. Subhanallah, manusia memang diciptakan bersaudara.

Tak mau berlarut-larut dalam keterpurukan tak berujung (gubrakkk..kaya’ apa aja), ku tekan tuts nokia 3100 ku dan kukirim pesan ke beberapa teman lama, dengan sms yang sama “Assalamualaikum..apa kabar disana?” hingga 30 menit aku menunggu tak jua si biru pudar itu berdering…Oh no..!! Ya Allah mudahkanlah urusan teman”ku..semoga mereka baik-baik saja disana, amin..

“Ayooeenn..sudah jam 8 loo, segera bersiaplah..” suara cempreng nan indah itu membuyarkan anganku tuk berlama-lama memandangi home di facebook ku. Ahh.. Asnat namanya, gadis NTT temanku, hmm…memang sudah saatnya, bergegas..but wait..masih ada 30 menit lagi bwat tidur walaupun sejenak. Kemudian aku berpindah ke kamar teman, dan langsung merebahkan diri sambil berpesan “Bangunkan aku yah..20 menit lagi” Walapun begitu tetap ku setting alarm di hapeku jam 20.20..Bismillah…terlelap….zz..zz..zz..

Sebelum memasuki REM fase tidurku,,,si hape berdering dengan kencangnya…kudiamkan...perasaan baru 5 menit, apakah aku yang salah menyeting alarm, bukan..tapi nada sms, yak benar..ah paling ga penting..kudiamkan lagi, dan kucoba untuk melanjutkan ke fase NonREM..but failed,..!! Penasaran dari siapakah sms itu?? Akhirnya dengan malas ku raih hapeku yang kuletakkan tak jauh dari si Jeppy bonekaku, kuaktifkan dan langsung ku baca (yang kubaca pertama adalah pengirimnya, niatnya kalo ga kenal akan langsung kututup and continuing 4 sleeping.. :P )

Dari NENI “Assalamualaikum, mba gmn kbarny?? Ada berita duka mba, tman kt Ali Mas’ud meninggal kmrin , katanya kcelakaan d Tulungagung, tp aq jg blon tau gmn critax. Qt doain aja smoga amalnya dtrima,amin..”

Saat ajal kan datang menjelang

Malaikat izrail mainkan peran

Nyawa tercabut tubuh pun meregang

Allahhu Akbar janjimu tlah datang

Kenikmatan duniapun berlalu mohon ampunan sudah tak berlaku

Tiada lagi tempat pertolongan kecuali amal dan perbuatan

semasa hidup membentang jaman ridho Ilahi yang didambakan

Sebesar zarah pun diperhitungkan kebaikan yang tlah kita amalkan

Sebesar zarahpun diperhitungkan keburukan yang tlah kita lakukan


Innalillahi wa innailaihi rojiun…Ya Allah..telah kau pilih dia sebagai penghuni barzah Mu. Temanku….Sekarang tak ada lagi cerita tentang pohon-pohon tinggi, truk-truk besar yang kau kemudikan di tempat kerjamu, tak ada lagi sms yang isinya “ Ayoen, obat pusing apaan yak?” Tak kan ada lagi, canda tawa mengenang waktu SD...Teman...engkaulah yang terpilih. Semoga engkau menikmati alam barumu dengan cahayaNya, dan lembut alunan musik surgawi. Lelaplah dalam tidurmu, walau aku tak bisa menabur bunga dia atas pusaramu, doaku sudah terlantun dari sini.

Pilar-pilar yang gagah di sekelilingku seakan menyambutku angkuh. Menelusuri koridor Rumah Sakit ini seakan berat. Kulemparkan pandanganku jauh kedepan, lorong ini masih tampak tak berujung. Siulan angin sungguh merdu ku dengar, mengiringi dinas malamku kali ini. Namun dinas malamku kali ini,,,adalah jawaban dari kegelisahanku kemarin.


“Teruntuk teman kecilku Alm. Ali Mas’ud, smoga penghuni langit menyambut indah kedatanganmu disana”



Semarang, 28 Mei 2010

10.26 WIB Menjelang berangkat konsul di Ruang Mata A4

Hijan dan Kuning




Sejenak aku singgah dalam dunia mereka yang dahulu memang tidak ada kita

cepat pula mereka membukakan pintu untuk kita kemudian masuk dalam ruang hijau kuning..
ya..kami datang untuk sekedar meminta air..kata salah satu dari kita
ya..kami sudah ada ambillah sendiri di ruang hijau..kata salah satu dari mereka

walaupun seteguk,, air ruang hijau mampu menyudahi dahaga kami

silahkan duduk..ada bebrapa kunci yang kami tidak bsa gunakan akhir" ini..entah mengapa..kata mereka mengawali
terimaksih..bisa kami lihat yang mana kunci itu..
ya..ambillah di ruang warna kuning
..

bukan kunci yg rusak tidak pula anak kunci yg koyak...

namun...

lubang kunci yg tertutup sdkit pasir,,baliklah dan siramkan air diatasnya...

hijau yg memudar akankah menjadi kuning???
kuning yg menguat akankah menjadi hijau???

hmm...bgaimana klau kita ambil hijau untuk kuning..dan kuning untuk hijau...


^^dedicated to our beloved bro & sizt on Wisma Irawan^^


-------###...thank u much...###---------



Sabtu, 22 Mei 2010

Sayap Putih Izrail

Assalamu’alaikum....... Sapaan ini aku layangkan untukmu wahai mahluk Allah yang senantiasa berdiri salat kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan demikian pula segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Untukmu, yang berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah. Untukmu pula, yang membaca Al-Quran, melaksanakan salat, menunaikan zakat dan memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh balasannya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Bukankah kamu mengenal kalam Allah ini, Al-Muzzammil ayat kedua puluh?

Selanjutnya aku akan bercerita padamu tentang amalan seorang mahluk Allah; yang telah dikabarkan Raqib dan Atid kepadaku. Apakah ia akan masuk surga ataukah neraka, aku tidak tahu. Yang hanya akan aku ceritakan adalah tentang bagaimana rupaku ketika mendatanginya.

Wahai mahluk Allah yang dimuliakan Allah sehingga aku dan para malaikat bersujud padamu, pernahkah kamu mendengar, atau sedikitnya mengetahui bahwa aku akan mendatangimu dengan tiba-tiba? Bukankah kematian itu dekat sekali dengan urat nadimu? Pernahkah kamu membayangkan, bagaimana wujudku ketika mendatangimu? Apakah aku adalah seseorang yang akan kamu sambut dengan baik, dengan wajah penuh kerinduan. Rindu akan surga Allah dan pertemuan dengannya? Atau malah sebaliknya? Aku adalah seseorang yang berwujud menyeramkan, dengan aura pembunuh dan keputusasaan, dan kamu menjerit tidak ingin nyawamu kuambil karena kau terlalu mencintai dunia. Menuhankan nafsumu, dan kamu gelisah dengan amalan yang akan kamu pertanggungjawabkan pada Allah Ta’ala? Aku adalah sebagaimana yang divisualkan dengan jubah hitam dan kerudungnya dengan rupa menyeramkan dan membawa pisau berbentuk sabit? Seperti itukah?

Hei, bukankah aku akan bercerita padamu? Ya, ya, ya. Beginilah ceritanya…

“Faiza!”

Gadis berjilbab lebar itu menoleh. Ia menyunggingkan senyum kepada teman perempuannya. Teman perempuan Faiza segera berlari menghampirinya.

“Za, aku ingin bercerita padamu tentang sesuatu. Boleh?” tanyanya.

Faiza tersenyum lagi. Ia mencubit pipi teman perempuannya itu dengan gemas.

“Tentu saja boleh.” kata Faiza seraya mencubit pipi temannya. “ Apa sih, yang tidak bisa aku berikan untuk sahabatku ini? Aku akan selalu menyenangkan hatimu dan memenuhi semua harapanmu, sahabatku!”

Teman perempuannya itu tertawa. Tapi hanya beberapa detik. Detik berikutnya, ia kembali digelayuti mendung. Wajahnya berubah kelam.

“Faiza, aku ingin bercerita padamu tentang…eh, ini tentang…”

“Katakanlah!” kata Faiza tulus.

“Tentang Ikra…” wajahnya ia tundukkan dalam-dalam.

Faiza menghela napas.

“Kamu belum merelakannya?” kata Faiza dengan nada tajam.

“Bukan seperti itu! Aku bukannya tidak rela! Tapi…”

“Lantas?”

Teman perempuan Faiza tidak mengatakan sepatah katapun.

“Bukankah semua nyawa manusia itu milik Allah? Harta, jiwa, dan segala sesuatunya merupakan titipan.”

“Faiza,” panggil teman perempuan Faiza dengan lirih. Digigitnya bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangis.

Faiza meletakkan tangan di atas pundak teman perempuannya itu.

“Ada beberapa orang yang sangat menantikan pertemuan dengan Rabb. Salah satunya mungkin adalah Ikra. Bukankah ia meninggal dengan terhormat? Dengan Allah Ta’ala sebagai Rabbnya, dan Islam sebagai agamanya? Bukankah Ikra adalah seorang hamba Allah yang senantiasa memperjuangakan panji-panji Islam? Bukankah Ikra adalah orang yang senantiasa mengambil tamsil dari Rasulnya dan mengamalkan ajarannya? Bukankah seperti itu adanya?”

Teman perempuan Faiza itu tersenyum dengan gugup.

“Aku yakin, kakakmu dijemput Izrail dengan sayap putihnya….”

Nah, kau lihat? Ia berprasangka baik terhadapku, bukan? Tapi tahukah kamu apa yang membuat ia bisa seperti itu?

“Ummi, jangan menangis lagi. Tahukah ummi, derai air mata Ummi lebih menyakitiku dari pada jarum-jarum itu?” kata Faiza.

“Faiza, anakku. Mengapa bukan ummi saja yang menjalani semua ini, Nak. Ummi saja, jangan kamu…” kata Ummi. Ia menggenggam tangan Faiza dengan erat. Gulir bening air matanya jatuh membasahi tangan putih nan kurus itu.

“Ummi, “ panggil Faiza. “Ummi harus percaya padaku. Aku rela Allah menetapkan ketetapan ini untukku, bahwa aku harus menjalani kemoterapi ini. Bukankah usaha menuju kesembuhan itu adalah ibadah, Ummi? Bukankah begitu?”

“Faiza,” panggil Ummi Faiza dengan nada getir.

“Andaikata aku dijemput Izrail, aku pasti akan dijemput dengan sayap putihnya, Bunda. Pasti…”

Seulas senyum kembali menghiasi wajahnya. Wajah yang senantiasa dipenuhi cahaya…

Teman perempuan Faiza kini hanya mampu menatap Faiza dari balik jendela pintu kamar ruang kemoterapi. Ia meraa bersalah karena tidak mampu menghibur seperti halnya Faiza menghiburnya. Teman perempuan Faiza itu malah memperlihatkan wajah terluka ketika Faiza mengabarkan hal ini.

“Kenapa Faiza? Kenapa? Dulu kakakku, sekarang nyawa sahabatku! Kenapa bukan aku saja, Faiza! Kenapa!” jerit teman perempuan Faiza tempo hari.

Tahu apa yang dikatakan Faiza selanjutnya?

“Diriwayatkan dari Thabrani, cukuplah maut sebagai pelajaran (guru) dan keyakinan sebagai kekayaan.”

Teman perempuan Faiza memandang Faiza.

“Benarkah Izrail akan menjemputmu dengan sayap putihnya?”

“Insya Allah.” guman Faiza.

“Tapi, Faiza. Kenapa bukan aku saja? Aku sudah cukup lelah, Faiza..”

Faiza kembali tersenyum. “Diriwayatkan dari Bukhari, janganlah ada orang yang menginginkan mati karena kesusahan yang dideritanya. Apabila harus melakukannya hendaklah dia cukup berkata, ‘Ya Allah, tetap hidupkan aku selama kehidupan itu baik bagiku dan wafatkanlah aku jika kematian baik untukku.’ , Ya?”

“Faiza, kenapa orang-orang baik cepat pergi? Apakah aku bukan orang baik?”

Faiza hanya tersenyum menanggapi perkataan yang dilontarkan temannya itu. Kini, senyum Faiza pada Umminya, membuat hati teman perempuan Faiza itu bimbang.

Bimbang adalah satu bentuk kepedulian, bukan? Teman perempuan Faiza itu kini mengayunkan langkah kakinua, mendorong pintu yang membatasinya dengan Faiza, dan masuk ruangan dimana Faiza menjalani kemoterapi untuk penyakitnya psedomonas. Ia akan menemani Faiza jihad melawan penyakit ganasnya itu.

“Kamu siapa?”

Gadis itu terheran-heran menatapku.

“Tidakkah kamu melihat sayapku?”

Gadis itu kini memandang sayapku.

“Putih?”

“Ya. Putih.” kataku. “Tidakkah kamu mengenalku?”

“Kamu…” gadis itu tersenyum gugup. “Bukan Izrail, kan? Ehm, maksud saya, kamu..”

“Benarkah itu kamu? Eh, bagaimana seharusnya aku memanggilmu? Anda? Atau…”

“Aku datang untuk menjemputmu.” kataku. Biasanya kata-kata ini merupakan hal yang paling ditakuti oleh seluruh umat manusia, tidak terkecuali orang yang beriman sekalipun.

“Sudah waktunya?”

“Ya. Sudah waktunya, wahai jiwa yang tenang!”

Ia terpana beberapa saat.

“Kamu menjemputku dengan sayap putih?”

“Ya.”

“Tapi sayap putih itu milik…”

“Milik semua yang mempercayainya..” potongku cepat.

“Sesuai amalanku?”

“Ya.”

“Bisakah kau tunggu aku sebentar? Aku ingin mengucapkan ikrarku pada Tuhanku?”

“Silahkan.”

Lalu kalimat itu meluncur pelan seiring roh yang tercabut dari tubuhnya…

“Kenapa aku tidak merasakan sakit?”

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. Kemudian, aku mengerti mengapa dia aku datangi dengan sayap putihku. Karena beberapa saat kemudian, dia berbisik padaku.

“Sesunggunya kami sangat gembira dengan hari yang telah kita kurangi. Setiap hari semakin dekat dengan kematian (ajal).”

Sungguh aku menyukai hamba Allah ini. Faiza Faturrahman.

(Oleh seorang ukhti di Bandung, jazakillah.. :D)

Ujung Skripsiku,Setahun yang Lalu


Lembar Persembahan

Segala puji hanya bagi Allah SWT………….
Akan selalu raga ini berpadu dengan jiwa sehingga larut dalam segenap ketentuanNya…CahayaMu yang selalu berpendar menguatkan, untuk benar-benar menggenggam dan kemudian merengkuhnya…impian…..
Jika waktunya telah tepat, sungguh apa yang Allah tetapkan untuk kita tak kan pernah tertukar……

Buah perjuangan ini kupersembahkan teruntuk yang mengajarkanku kerja keras dan pengorbanan Bapakku (Kanapi) arsitek kasih sayang yang pendiam, namun selalu mampu mengubah hal-hal sederhana menjadi begitu mempesona, yang mengajariku untuk tidak pernah putus asa Ibukku (Lilik Alimah) penawar kesedihan, dengan segala usahamu semuanya akan terlahir indah, selalu…
The bright star, your radiance will continue to live and shine in my heart…
Adikku (Akbar R.Aulia) perjuangan kita tak kan pernah berakhir, karena mbak yakin engkau bisa lebih dari mbak, segalanya…

Untuk semangat yang turut hadir menemani perjuangan ini, teman satu bimbingan Asnat (thank’s 4 de experience), Baiq Eka (lintangku, tak kan pernah bisa aku menyamaimu), Badrul (sipen konsul, see you to be a good nurse, my enemy) menunggu bersama kalian adalah mengisi semangat…

Kebersamaan yang indah denganmu, Nanda, Eliza, Ferina, Devi, Tiya, Masroni, Galih dan semua teman-teman PSIK angkatan 2005, you are truly the wind beneath my wing’s, without you I’m nothing!! Sampai jumpa di kesuksesan masing-masing...

Langkah ini mampu kutegakkan dengan kalian dalam rumah keduaku disini, D’ Ana (engkau bisa menjadi seperti siapapun yang kau inginkan), Gusti Ayu, Lia, Echy’, Nunung (semangat untuk keberhasilan kita...) RiaRio, Lian, Niken, Friska, Tin, Emi (terimakasih telah mengajariku perbedaan, ternyata indah ya...) Segala duka kan menjadi tawa ketika kalian hadir dengan canda, sukses untuk segalanya dimanapun nanti…

De last, for my close friend Aspire 4720Z and PiXMa iP 1880 de other side to make you perfect..thanks!!

Dan Semesta pun Kehilangan Pelita Terindahnya



Ketika Al-Musthafa berada dihadapan
Ku pandangi pesonanya dari ujung kaki hingga kepala,
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!(Abu Bakar ra)

Nabi demam kembali, kini panasnya semakin tinggi. Lemah ia berbaring, menghadapkan wajah pada Fatimah anak kesayangan. Sudah beberapa hari terakhir, kesehatannya tidak lagi menawan. Senin itu, kediaman manusia paripurna didatangi seorang berkebangsaan Arab dengan wajah rupawan. Di depan pintu, ia mengucapkan salam “Assalamu’alaikum duhai para keluarga Nabi dan sumber kerasulan, bolehkah saya menjumpai kekasih Allah?”. Fatimah yang sedang mengurusi ayahnya, tegak dan berdiri di belakang pintu “Wahai Abdullah, Rasulullah sedang sibuk dengan dirinya sendiri”. Fatimah berharap tamu itu mengerti dan pergi, namun suara asing semula kembali mengucapkan salam yang pertama.
“Alaikumussalam, hai hamba Allah” kali ini Nabi yang menjawabnya.
“Anakku sayang, tahukah engkau siapakah yang kini sedang berada di luar?”
“Tidak tahu ayah, bulu kudukku meremang mendengar suaranya”
“Sayang, dengarkan baik-baik, di luar itu adalah dia, pemusnah kesenangan dunia, pemutus nafas di raga dan penambah ramai para ahli kubur”. Jawaban nabi terakhir membuat fatimah jatuh terduduk. Fatimah menangis seperti anak kecil.
“Ayah, kapan lagi aku akan mendengar dirimu bertutur, harus bagaimana aku menuntaskan kerinduan kasih sayang engkau, tak akan lagi ku memandang wajah kesayangan ayahanda” pedih Fatimah. Nabi tersenyum, lirih ia memanggil ” Sayang, mendekatlah, kemarikan pendengaranmu sebentar”. Fatimah menurut, dan Kekasih Allah itu berbisik mesra di telinga anaknya, “Engkau adalah keluargaku yang pertama kali menyusul sebentar kemudian”. Seketika wajah fatimah tidak lagi pasi tapi bersinar.
Lalu kemudian, Fatimah mempersilahkan tamu itu masuk. Malaikat pencabut maut berparas jelita itu pun kini berada di samping Muhammad.
“Assalamu’alaikum ya utusan Allah” dengan takzim malaikat memberi salam.
“Salam sejahtera juga untukmu pelaksana perintah Allah, apakah tugasmu saat ini, berziarah ataukah mencabut nyawa si lemah?” tanya nabi. Angin berhembus dingin.
“Aku datang untuk keduanya, berziarah dan mencabut nyawamu, itupun setelah engkau perkenankan, jika tidak Allah memerintahkanku untuk kembali”
“Di manakah engkau tinggalkan Jibril? Duhai izrail?”
“Ia ku tinggal di atas langit dunia”.
Tak lama kemudian, Jibril pun datang dan memberikan salam kepada seseorang yang juga dicintanya karena Allah.
“Ya Jibril, gembirakanlah aku saat ini” pinta Al-Musthafa.
Terdengar Jibril bersuara pelan di dekat telinga manusia pilihan, “Sesungguhnya pintu langit telah di buka, dan para Malaikat tengah berbaris menunggu sebuah kedatangan, bahkan pintu-pintu surga juga telah di lapangkan hingga terlihat para bidadari yang telah berhias menyongsong kehadiran yang paling ditunggu-tunggu”.
“Alhamdulillah, betapa Allah maha penyayang” sendu Nabi, wajahnya masih saja pucat pasi.
“Dan Jibril, masukkan kesenangan dalam hati ini, bagaimana keadaan ummatku nanti”.
“Aku beri engkau sebuah kabar akbar, Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Aku, telah mengharamkan surga bagi semua Nabi, sebelum engkau memasukinya pertama kali, dan Allah mengharamkan pula sekalian umat manusia sebelum pengikutmu yang terlebih dahulu memasukinya” Jawaban Jibril itu begitu berpengaruh. Maha suci Allah, wajah Nabi dilingkupi denyar cahaya. Nabi tersenyum gembira. Betapa ia seperti tidak sakit lagi. Dan ia pun menyuruh malaikat izrail mendekat dan menjalankan amanah Allah.
Izrail, melakukan tugasnya. Perlahan anggota tubuh pembawa cahaya kepada dunia satu persatu tidak bergerak lagi. Nafas manusia pembawa berita gembira itu semakin terhembus jarang. Pandangan manusia pemberi peringatan itu kian meredup sunyi. Hingga ketika ruhnya telah berada di pusat dan dalam genggaman Izrail, nabi sempat bertutur, “Alangkah beratnya penderitaan maut”. Jibril berpaling tak sanggup memandangi sosok yang selalu ia dampingi di segala situasi.
“Apakah engkau membenciku Jibril”
“Siapakah yang sampai hati melihatmu dalam keadaan sekarat ini, duhai cinta,” jawabnya sendu.
Sebelum segala tentang manusia terindah ini menjadi kenangan, dari bibir manis itu terdengar panggilan perlahan “Ummatku… Ummatku….”. Dan ia pun dengan sempurna kembali. Nabi Muhammad Saw, pergi dengan tersenyum, pada hari senin 12 Rabi’ul Awal, ketika matahari telah tergelincir, dalam usia 63 tahun.
Muhammad, Nabi yang Ummi, Kekasih para sahabat di masanya dan di sepanjang usia semesta, meninggalkan gemilang cahaya kepada dunia. Muhammad, pemberi peringatan kepada semua manusia, menorehkan dalam-dalam tinta keikhlasan di lembaran sejarah. Muhammad, yang bersumpah dengan banyak panorama indah alam: “demi siang bila datang dengan benderang cahaya, demi malam ketika telah mengembang, demi matahari sepenggalah naik”, telah membumbungkan Islam kepada cakrawala megah di angkasa sana. Ia, Muhammad, menembus setiap gendang telinga sahabatnya dengan banyak kuntum-kuntum sabda pengarah dalam menjalani kehidupan. Ia, Muhammad, yang di sanjung semua malaikat di setiap tingkatan langit, berbicara tentang surga, sebagai tebusan utama, bagi setiap amalan yang dikerjakan. Ia, Muhammad yang selalu menyayangi fakir miskin dan anak yatim, menggelorakan perintah untuk senantiasa memperhatikan manusia lain yang berkekurangan. Dan Ia, Muhammad, tak akan pernah kembali lagi.
Sungguh, Madinah berubah kelabu. Banyak manusia terlunta di sana.
Dan Aisyah ra, yang pangkuannya menjadi tempat singgah kepala Rasulullah di saat terakhir kehidupannya, menyenandungkan syair kenangan untuk sang penerang, suaranya bening. Syahdunya membumbung ke jauh angkasa. Beginilah Aisyah menyanjung sang Nabi yang telah pergi:
Wahai manusia yang tidak sekalipun mengenakan sutera,
Yang tidak pernah sejeda pun membaringkan raga pada empuknya tilam
Wahai kekasih yang kini telah meninggalkan dunia,
Ku tau perut mu tak pernah kenyang dengan pulut lembut roti gandum
Duhai, yang lebih memilih tikar sebagai alas pembaringan
Duhai, yang tidak pernah terlelap sepanjang malam karena takut sentuhan neraka Sa’ir
Dan Umar r.a yang paling dekat dengan musuh di setiap medan jihad itu, kini menghunus pedang. Pedang itu menurutnya diperuntukkan untuk setiap mulut yang berani menyebut kekasih kesayangannya telah kembali kepada Allah. Umar tatap wajah-wajah para sahabat itu setajam mata pedangnya, meyakinkan mereka bahwa Umar sungguh-sungguh. Umar terguncang. Umar bersumpah. Umar berteriak lantang. Umar menjadi sedemikian garang. Ia berdiri di hadapan para sahabat yang terlunta-lunta menunggu kabar manusia yang dicinta.
Dan Abu Bakar, sahabat yang paling lembut hatinya, melangkah pelan menuju jasad manusia mulia. Langkahnya berjinjit, khawatir kan mengganggu seseorang yang tidur berkekalan, pandangannya lurus pada sesosok cinta yang dikasihinya sejak pertama berjumpa. Raga berparas rembulan itu kini bertutup kain selubung. Abu bakar hampir pingsan. Nafasnya berhenti berhembus, tertahan. Sekuat tenaga, ia bersimpuh di depan jasad wangi al-Musthafa. Ingin sekali membuka penutup wajah yang disayangi arakan awan, disanjung hembusan angin dan dielu-elukan kerlip gemintang, namun tangannya selalu saja gemetar. Lama Abu bakar termenung di depan jenazah pembawa berkah. Akhirnya, demi keyakinannya kepada Allah, demi matahari yang masih akan terbit, demi mendengar rintihan pedih ummat di luar, Abu bakar mengais sisa-sisa keberanian. Jemarinya perlahan mendekati penutup tubuh suci Rasulullah, dan dijumpailah, wajah yang tak pernah menjemukan itu. Abu bakar memesrai Nabi dengan mengecup kening indahnya. Hampir tak terdengar ia berucap, “Demi ayah dan bunda, indah nian hidupmu, dan indah pula kematianmu. Kekasih, engkau memang telah pergi”. Abu bakar menunduk. Abu Bakar mematung. Abu Bakar berdoa di depan tubuh nabi yang telah sunyi.
Dan Bilal bin Rabah, yang suaranya selalu memenuhi udara Madinah dengan lantunan adzan itu, tak lagi mampu berseru di ketinggian menara mesjid. Suaranya selalu hilang pada saat akan menyebut nama kekasih ‘Muhammad’. Di dekat angkasa, seruannya berubah pekik tangisan. Tak jauh dari langit, suaranya menjelma isak pedih yang tak henti. Setiap berdiri kukuh untuk mengumandangkan adzan, bayangan Purnama Madinah selalu saja jelas tergambar. Tiap ingin menyeru manusia untuk menjumpai Allah, lidahnya hanya mampu berucap lembut, “Aku mencintaimu duhai Muhammad, aku merindukanmu kekasih”. Bilal, budak hitam yang kerap di sanjung Nabi karena suara merdunya, kini hanya mampu mengenang Sang kekasih sambil menatap bola raksasa pergi di kaki langit.
Dan, terlalu banyak cinta yang menderas di setiap jengkal lembah madinah. Yang tak pernah bisa diungkapkan. Semesta menangis.
***
Sahabat, Sang penerang telah pergi menemui yang Maha tinggi. Purnama Madinah telah kembali, menjumpai kekasih yang merindui. Dan semesta, kehilangan pelita terindahnya. Saya mengenangmu ya Rasulullah, meski hanya dengan setitik tinta pena. Saya mengingatimu duhai pembawa cahaya dunia, meski hanya dengan selaksa kata. Dan saya meminjam untaian indah peredam gemuruh dada, yang dilafadzkan Hasan Bin Tsabit, salah seorang sahabat penyair dari masa mu:
Engkau adalah ke dua biji mata ini
Dengan kepergianmu yang anggun,
Aku seketika menjelma menjadi seorang buta
Yang tak perkasa lagi melihat cahaya
Siapapun yang ingin mati mengikutimu
Biarlah ia pergi menemui ajalnya,
Dan Aku,
Hanya risau dan haru dengan kepergian terindah mu
Sahabat, kenanglah Nabi Muhammad Saw, meski dalam kelengangan yang sempurna, agar hal ini menjadi obat ajaib, penawar dan penyembuh kegersangan hati yang kerap berkunjung. Agar, di akhirat kelak, dengan agung Nabi memanggil semua manusia yang senantiasa merindukan dan mencintainya. Adakah yang paling mempesona dihadapanmu, ketika suara suci Nabi menyapamu anggun, menjumpaimu dengan paras yang tak pernah kau mampu bayangkan sebelumnya. Adakah yang paling membahagiakan di kedalaman hatimu, ketika sesosok yang paling kau cinta sepenuh jiwa dan raga, berada nyata di dekatmu dan menemuimu dengan senyuman yang paling manis menembusi relung kalbu. Dan adakah di dunia ini yang paling menerbangkan perasaanmu ke angkasa, ketika jemari terkasih menggapaimu untuk memberikan naungan perlindungan dari siksa pedih azab neraka. Adakah sahabat???
Jika saat ini ada yang bening di kedua sudut kelopak matamu, berbahagialah, karena mudah-mudahan ini sebuah pertanda. Pertanda cinta tak bermuara. Dan, ketika kau tak dapati air mata saat ini, kau sungguh mampu menyimpan cinta itu di dasar hatimu.
Salam saya, untuk semua sahabat. Mari bersama bergenggaman, saling mengingatkan, saling memberikan keindahan ukhuwah yang telah Rasulullah tercinta ajarkan. Mari Sahabat!


(Repost from Suryaningsih)